Sabtu, 27 Februari 2016

Arab Town di Thailand

Meski mereka berkalabiya dan berburkat, dan berasal dari Timur Tengah, jangan pernah memberi penilaian yang menggeneralisasi. 

Sehabis Isya, kami jalan keluar hotel, mencari makan halal. Tak jauh dari hotel, ada warung kaki lima, penjualnya muslim dari Patani. Kami berlima makan dan hanya membayar 180 bath saja.
Langkah selanjutnya menuju Sukhumvhit. Naik taxi seharga 200 bath. Sampai di Sukhumvit, pemandangan di sini sama dengan Pat Pong, penuh manusia. Tapi ada hal yang membedakan kawasan ini dengan Pat Pong : di sini ada kampung Arab. Bukan dalam arti kampung Arab seperti Sasak Surabaya, Pasar Kliwon Solo dan sebagainya. Tapi berseberangan jalan dengan Nana Plasa, anda dapat menjumpai kawasan dengan banyak wajah-wajah Arab, toko-toko di wilayah ini menggunakan nama berbahasa Arab atau hal-hal yang identik dengan Arab. Makanan yang dijual juga menu Arab, tentu saja shisha juga banyak dijual.
Pertama kami mencoba berjalan di kawasan Nana Plaza. Tidak banyak berbeda dengan Pat Pong, perbedaannya di sini Penjaja Seks Komersial (PSK) berderet di pinggir jalan menjajakan diri. PSKnya bisa perempuan atau lelaki atau banci. Beruntunglah wajah kami sama dengan wajah penduduk Thailand, jadi kami tidak digoda oleh mereka. Lagi pula untuk apa mereka menggoda kami, segerombolan lelaki tua rapuh, yang tak pernah mau menyentuh alkohol.
Alkohol seperti sebuah kata pembuka bagi transaksi dunia malam di tempat ini. Bar-bar menjajakan minuman beralkohol, dan bila anda masuk bar akan disambut perempuan cantik dan seksi yang siap mendampingi anda ngobrol dengan syarat ditraktir minum. Dan kalau anda setuju, perempuan itu akan memilih minuman mahal, dan bisa habis berbotol-botol. Bocor tuh kantong. Kami tak pernah minum, jadi tak minat masuk ke bar. Karena katanya kalau ke Thailand tak lengkap kalau belum ke Pat Pong dan Nana Plasa, ya jadi kami kesana. Berarti kami sudah lengkap kan? 
Selanjutnya kami menyeberang jalan ke kampung Arab yang tepat berseberangan jalan dengan Nana Plasa. Aroma Timur Tengah tercium kuat, bau shisha, parfum, dan kebab. Pemilik warung makan di sini sebagian berasal dari India dan Turki. Kenapa Indonesia tak ada? Entah. Tanya saja pada rembulan malam.
Karena kawasan ini banyak dihuni oleh turis dari negara-negara Arab, maka wajar saja jika kemudian fasilitas bagi mereka disediakan. Beda dengan daerah lain di Thailand, di sini kita akan sering mendengar bahasa Arab, namanya juga kampung Arab. Itu nama pemberian kami, bukan nama sesungguhnya.
Penyediaan fasilitas seperti saya sebut di atas, termasuk diantaranya fasilitas pemenuhan birahi. Jadi tak perlu heran kalau di pinggir jalan ada perempuan berpakaian hitam dengan burkat hitam mendekati dan menawarkan diri. Kami juga didekati perempuan berkalabiya hitam dan burkat hitam yang mengaku dari Iran. Sebagai peneliti, tentu kesempatan ini tak kami sia-siakan untuk dapat ngobrol, mengorek informasi dari mereka. Tapi karena kami orang baik-baik, dan tujuan ke Thailand bukan untuk hura-hura, jadi kami tak berminat dengan tawaran-tawaran mesum itu.
Meski mereka berkalabiya dan berburkat, dan berasal dari Timur Tengah, jangan pernah memberi penilaian yang menggeneralisasi. Wajar saja kalau ada permintaan maka ada penawaran. Ada gula ada semut.
Kami sempat masuk ke salah satu kafe di tempat ini, di dalam kafe suasananya mengingatkan saya pada Naquib Mahfoudz Caffe di salah satu lorong Khan El Khalili, kawasan Husainiyyah, Mesir, daerah yang disebut Naquib Mahfud dalam novel Lorong Midaq. Aroma sisha dan kehangatan "bubur" Syurba Adas itu kembali hadir dalam imajinasi. 
Lewat tengah malam, kami beranjak pulang dan packing, karena besok siang kami akan ke Kuala Lumpur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar