Kamis, 17 Maret 2016

Madura, Wisata Kisah

Selama 2 dua hari, 16-17 Maret 2016, kemarin saya mengunjungi Pulau Madura. Berangkat dari Jogja naik kereta. Saya sengaja memilih kereta, karena memang sudah lama sekali tak pernah menggunakan moda angkutan umum itu di tanah air.
Ternyata, sekarang naik kereta api itu aman dan nyaman. Kita bisa booking tiket secara online, dan saat sebelum keberangkatan self check in di stasiun menggunakan komputer yang disediakan. Berbeda dengan naik kereta jaman dulu, yang harus antri berdesak-desakan utk beli tiket, ditingkahi dengan tawaran calo-calo yang berkeliaran. Salut untuk perubahan besar ini.
Oleh kawan yang sama-sama berangkat ke Madura, saya diberi tips yang hebat. Kalau naik kereta, pilih gerbong terakhir, biasanya kosong, jadi kita bisa pakai 2 kursi untuk kita sendiri. Dan pagi itu saya menikmati perjalanan ke Surabaya dengan kereta api, sambil melanjutkan tidur hahahaha. Mungkin karena saya menghayati lagu Elvi Sukaesih, juk ijak ijuk ijak ijuk kereta berangkat.... juk ijak ijuk ijak ijuk... hatiku gembira.... hahahaha.
Jelas tak ada pedagang asongan di kereta, tak seperti dulu, dimana jumlah pengasong sama dengan jumlah penumpang.
Berangkat jam 06.40 dari Jogja, tiba di Stasiun Gubeng Surabaya jam 11.40 sekitar 5 jam perjalanan.
Dari Gubeng saya dijemput oleh utusan dari Pondok Pesantren As Salafiyah, Pakong, Pamekasan. Perjalanan dari Gubeng ke Pakong sekitar 4 jam, itupun sopirnya sudah ngebut... wuzzz. Melewati jembatan terpanjang di Indonesia, Suramadu. Bukan kali pertama saya melintasi jembatan ini, tapi setiap melintasi jembatan ini saya selalu teringat kapal-kapal Feri yang dulu pernah saya tumpangi. Juga teringat saat kapal feri yang pernah saya tumpangi terantuk karang, dan hati jadi ciut hahahaha.
Sebagai jembatan terpanjang, jembatan melintasi selat pertama di Indonesia, Suramadu memang layak dibanggakan, dan mengagumkan. Saya menikmati perlintasan itu dengan pikiran takjub.
Daratan pertama yang dijejak setelah melewati Suramadu, ialah Bangkalan. Di daerah ini terkenal dengan bebek Sogkem, atau bahasa jawanya sungkem. Kuliner yang enak, saya pun tak mau melewatkan kesempatan makan bebek sogkem. Kami berenti di salah satu warung di Bangkalan, memesan bebek sogkem. Rasanya memang khas, apalagi udara panas menyelimuti warung. Kondisi itu pasti membuat makan jadi lahap.
Selesai menyantap sogkem, perjalanan dilanjutkan. Berhenti sebentar di Tanah Merah untuk sholat jama'-qoshor dhuhur dan Ashar.
Kecamatan Pakong, merupakan dataran tinggi, udaranya sejuk. Dari salah satu sudut di Pakong, kita bisa melihat Laut Jawa. Masyarakat Pakong memiliki mata pencaharian berkebun dan petani, atau berdagang. Menurut kawan saya, untuk masyarakat Pakong daerah utara, banyak yang merantau menjadi TKI/TKW di Malaysia atau Arab Saudi. Di wilayah Pakong Utara itu, lazim dijumpai rumah berukuran besar dengan bangunan yang megah, tapi dihuni oleh rerumputan, karena manusia pemiliknya masih menjadi TKI/TKW di Malaysia atau Arab Saudi. Meski tidak semua orang di Pakong yang merantau itu beruntung, ada juga yang tidak pernah kembali dan tak tau dimana rimbanya. Ada pula yang kembali dengan kondisi lebih memprihatinkan dibandingkan saat berangkat. Ada pula yang sukses dan menjadi pengusaha di Malaysia, bahkan pindah kewarganegaraan di sana.
Kisah orang-orang Pakong yang sukses ini agak menprihatinkan. Hahahaha aneh ya, sukses tapi memprihatinkan. Cerita kawan saya, ada orang yang sukses di Malaysia/Saudi dengan cara mempekerjakan tetangga mereka yang sama-sama merantau, tetapi sang tetangga bekerja tanpa diupah, hanya diberi makan dan tumpangan tidur. Ada pula yang sukses karena berdagang narkoba, konon menurut cerita, mengoplos sabu di dekat Masjidil Haram, akhirnya ketangkap dan dipancung. Ada pula kisah sukses pengusaha asal Madura ini yang menjadi pengusaha mebel di Malaysia. Anaknya dititipkan sang nenek yang tinggal di Pakong. Saat sang anak kuliah, diberi tabungan ratusan juta, sekedar untuk biaya hidup.
Pesantren As Salafiyah, yang sudah berdiri selama 4 generasi menjadi prototype ideal pesantren di daerah yang "keras" itu. Ada santri yang bapaknya "preman". Ada pula orang tua yang memandang pesantren itu tempat penitipan anak, dan untuk yang terakhir ini jumlahnya banyak.
Putra Kyai Pesantren As Salafiyah ini menuturkan perjuangan pesantren untuk meningkatkan taraf pendidikan masyarakat. Sepuluh tahun lalu mereka mendirikan madrasah tsanawiyah. Berdiri dengan fasilitas seadanya, dengan guru yang juga seadanya. Bahkan ada guru, mengajar Bahasa Inggris dan Bahasa Arab, sementara sang guru tak punya ijazah SMP... hahaha getir... Tapi berkat ketulusan Pak Kyai, sekolah terus berjalan dan berkembang, kini Pesantren As Salafiyah punya SD/MI, SMP/Tsanawiyah, SMA/Aliyah, dan SMK. Dan rencananya akan segera membuka kampus Sekolah Tinggi Ilmu Syariah. Dan sang guru SMP yang dulu tak punya ijazah SMP itu kini sudah bergelar Master.
Pesantren berusaha agar santrinya mengenyam pendidikan tinggi, mereka pernah bekerjasama dengan perguruan tinggi di Madura untuk bermitra, agar santrinya bisa kuliah. Bahkan pesantren membeli bus khusus untuk mengangkat para santri dari pesantren ke kampusnya di Pamekasan. Mengapa membeli bus? Karena ada kejadian seorang santri mendapat musibah kecelakaan saat hendak kuliah dengan mengendarai motor. Dari peristiwa itu, Pak Kyai tak ingin ada musibah lagi, maka dia beli bus.
Ada pula santri yang cerdas, lulus bidik misi di Universitas Airlangga, biaya kuliah gratis plus uang saku 600 ribu perbulan. Luar biasa. Pihak pesantren ingin mengabarkan pada orang tua santri tentang keberhasilan putrinya. Dan bagaimana tanggapan orang tua santri? Senang? Tidak, biasa saja. Kabar gembira itu ditanggapi dengan datar, "Ya silahkan kalau anak saya mau kuliah, tapi kalau saya harus mengeluarkan uang sepuluh ribu rupiah saja, lebih baik tak usah kuliah." Hmmmmm.
Dan bagaimana dengan wali santri yang preman itu? Dia ingin anaknya kuliah di universitas ternama, jurusan kimia. Saat ditawari bea siswa, wali santri itu menolak, dan menjawab, "saya masih mampu membiayai sendiri."
Itulah Pakong, itulah Pamekas, itulah Madura. Dan seringkali kita merasa Madura adalah kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar