Senin, 21 Maret 2016

AR. Baswedan, Sate Kambing Dan UUD 1945

                                                sumber foto : http://resephariini.com/
"...makan daging kambing orang dianggap masih banyak Arabnya, saya katakan kepada mereka, bahwa banyak makan suka sate kambing tidaklah menjadi soal......"
(AR. Baswedan)

Makan sate kambing tidak bisa dijadikan alat ukur nasionalisme, karena sate dan kambing tidak punya ideologi.  Tapi soal sate ini pernah menjadi bahan diskusi di forum penting negeri ini, Sidang BPUPKI. Sebagai penggemar sate dan pengamat konstitusi, tulisan ini akan mencoba melihat sate dari sudut pandang konstitusi.

Siapa sih yang tak mengenal makanan yang bahan baku utamanya daging (kambing, sapi, ayam)? Meskipun dalam perkembangannya ada sate yang berbahan baku tempe (di Solo sate tempe ini sering disebut sate kere), jamur, ular, kura-kura dan bahan-bahan lain.

Semula pengolahan sate memang sederhana, ditusuk dengan lidi atau bambu yang ditipiskan, dengan ujung yang lancip, lalu dipanggang di atas bara. Sekarang ada yang menggunakan jeruji sepeda seperti sate klathak di Jogja. Semula sate terdiri dari potongan kecil  berisi daging 4 biji, namun berkembang ada yang diolah dari daging cacah dan dibalut lemak, disebut sate buntel, sate buntel ini khas Solo, dan lezatnya sampai ke ubun-ubun. Daging kambing yang diolah pun beragam, semula berasal dari kambing yang sudah cukup umur untuk kurban, sekarang ada daging dari kambing Batibul (bawah tiga bulan), duh sadisnya. Dari sekian perjalanan saya menikmati sate, sejak mulai sadar hingga sudah tua, sate Tegal termasuk singada lawan, tiada tanding dan tiada banding rasanya.

Konon sejarah sate bermula sejak abad 19, meski tak jelas waktu tepatnya kapan. Ditemukan dan populer pertama kali di Jawa, sekarang sudah go internasional. Konon, sate ini dipopulerkan oleh pedagang Tamil. Saya sih meragukan informasi ini. Kalau menurut rekonstruksi imajinasi saya, sate bermula dari peranakan Arab di Indonesia. Peranakan Arab yang berasal dari Hadramaut, atau sering disebut Hadhorim, memang gemar makan daging kambing. Mengapa mereka gemar makan daging kambing? Ya karena dalam ajaran Islam, kalau berkurban itu selain lembu juga kambing. Sebab lain, karena memang rasanya enak dan bermanfaat untuk kesehatan.

Para Hadhorim ini membawa tradisi makan daging kambing ke Indonesia. Biasanya mereka mengolah daging kambing dengan dimasak seperti gulai, marak, dan untuk nasi kabuli. Bisa juga diolah dengan digoreng, ini biasanya untuk lauk nasi kabuli. Selain di rebus dan digoreng, seringkali mereka membakar daging kambing, meski cara membakarnya tidak sesuai dengan kaidah per-sate-an yang kita kenal sekarang. Mereka membakar daging dalam ukuran besar, langsung di atas bara. Tiap bagian yang sudah matang, disayat dan disantap (seringkali disantap tanpa nasi). Setelah di sayat, bagian yang belum matang ini dibakar kembali, dan begitu seterusnya sampai habis. Kebiasaan itu tentu tidak praktis, karena itu para pedagang, yang memang jeli membaca pasar, kemudian mengemas dengan memotong-motong daging menjadi ukuran dadu, ditusuk pakai lidi, dan dipanggang.

Sate dan UUD 1945


Karena peranakan Arab ini gemar makan daging kambing, sampai mereka diidentikan dengan santapan daging kambing. Seolah-olah bukan keturunan Arab kalau tidak makan daging kambing. Kemudian terjadi stigmatisasi. Stigma peranakan Arab suka makan daging kambing ini sempat menjadi isu yang diangkat dalam pembahasan UUD 1945. Bukan lebay, serius. Urusan sate sempat mengemuka dalam pembahasan UUD 1945, khususnya pasal 26.
    Sumber foto : https://id.wikipedia.org/wiki/Abdurrahman_Baswedan

Dalam sidang BPUPKI, Mr. Soepomo yang memang jago membuat konstitusi, merumuskan: "warga negara Indonesia ialah orang Indonesia Aseli." Tokoh keturunan Arab yang saat itu menjadi anggota BPUPKI, AR. Baswedan langsung protes. AR. Baswedan merasa keberatan dengan kalimat "Orang Indonesia Aseli" karena itu diskriminatif. Bagi Baswedan, keturunan Arab di Indonesia itu sudah menjadi orang Indonesia, apalagi tahun 1934, sudah ada deklarasi keturunan Arab di Indonesia. Dalam Kongres Pemuda Keturunan Arab di Semarang, 4-5 Oktober 1934, para tokoh pemuda keturunan Arab yang diinisiasi oleh Baswedan dan Nuh Alkaf, mendeklarasikan Sumpah Pemuda Keturunan Arab Indonesia. Isi sumpahnya :

1. Tanah Air Peranakan Arab adalah Indonesia.
2. Peranakan Arab harus meninggalkan kehidupan menyendiri (mengisolasi diri).
3. Peranakan Arab memenuhi kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia.

Dengan dasar itulah maka, keturunan Arab sudah menyatakan diri sebagai orang Indonesia. Nah, dalam argumentasi di BPUPKI itu Baswedan menyebut sate kambing, untuk melawan stigmatisasi.

"Pada ketika sepuluh tahun yang lampau saya duduk dalam Pergerakan Arab Indonesia, didalam kalangan kami, karena dianjurkan dan diinsyafkan dengan sangat hebatnya, maka hingga banyaklah anggota-anggota yang pada waktu itu yang telah mendapat pendidikan, menghendaki supaya menjadi bangsa Indonesia. Itu dengan paham, tuan-tuan, hingga boleh dikatakan bahasa ada orang yang lebih Indonesia daripada orang Indonesia sendiri. Kalau orang, misalnya, tuan ketua, karena pendidikan sekolah Arab berbahasa Arab, ini makan daging kambing orang dianggap masih banyak Arabnya, saya katakan kepada mereka, bahwa banyak makan suka sate kambing tidaklah menjadi soal......" (M. Yamin : 1959, hal 349-350)

Diplomasi "sate kambing" itu, sedikit banyak memang memengaruhi rumusan Pasal 26 UUD 1945, sehingga rumusan baku pasal tersebut berbunyi, "Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia aseli dan bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara."

Sumber :
1. Yamin, Hadji Muhammad, 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, jilid pertama, Jakarta, tanpa penerbit
 2. http://arabische-kamp.com/pemberontakan-dilema-partai-arab-indonesia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar