Senin, 21 Maret 2016

Bersahabat Dengan Penyakit

Di usia yang tak lagi muda, 47 tahun, saya masih gemar menikmati kuliner, tanpa berpantang. Mengapa begitu? Karena saya punya beberapa prinsip :
1. Makanan yang sudah dihalalkan oleh Allah, pasti tak akan membawa dampak buruk bagi kesehatan. Dampak buruk itu baru terjadi bila kita kurang tepat memperlakukan makanan itu, misalnya makannya terlalu banyak hingga kekenyangan, atau melumatnya/ngunyah tak sampai hancur baru ditelan.
2. Saya yakin segala sesuatu itu berasal dari pikiran. Karena itu kalau makan jangan mikir, kalau mikir jangan makan. Hahahaha simple kan.
3. Tubuh kita itu diberi imunitas. Sama seperti olah ragawan, semakin sering berlatih semakin kuat. Karena itu saya tidak suka minum obat kimia, karena kalau sakit sedikit minum obat, imunitas dalam tubuh tak diberi ruang untuk berlatih, pasti semakin lama semakin lemah. Jadi kalau sakit ringan itu saya nikmati, paling cuma 3 hari, setelah itu hilang. Dan pemenangnya adalah Imunitas dalam tubuh kita.
4. Semua penyakit pasti ada obatnya. Dan obat penyakit itu pasti ada di sekitar kita. Nah saya suka mengkonsumsi apa yang tersedia di alam untuk meningkatkan imunitas tubuh. Logikanya sih sederhana, penyakit dan imunitas itu merupakan proses alamiah dalam tubuh. Kalau penyakit dan imunitas itu alamiah, ya penyembuhannya dengan cara alamiah juga. Dalam beberapa waktu terakhir saya sudah mengkonsumsi produk herbal yang halal.
5. Kalau sakit, tadi saya sebut dinikmati saja, biar ada waktu bagi kita untuk kontemplasi, untuk berpikir tentang diri kita, tentang kesalahan dan dosa yang mungkin sudah kita perbuat. Dan menurut pengalaman saya, kontemplasi saat sakit itu mengasyikkan dan mempertajam daya ingat. Betul, mempertajam daya ingat, semua kesalahan yang kecil dan sudah puluhan tahun lalu akan kembali memenuhi pikiran. Nah jadi kita bisa istighfar dan tobat.
Jadi, yuk kita bersahabat dengan penyakit : mengenal jenis dan penyebab penyakit, mengenal proses imunitas tubuh dan proses alami penyembuhannya. Penyakit itu ibarat musuh, kalau kita lawan dia akan mengajak kawan-kawannya. Tapi kalau kita ajak bersahabat, dia akan menjadi sparing partner, dan membuat kita lebih kuat.

AR. Baswedan, Sate Kambing Dan UUD 1945

                                                sumber foto : http://resephariini.com/
"...makan daging kambing orang dianggap masih banyak Arabnya, saya katakan kepada mereka, bahwa banyak makan suka sate kambing tidaklah menjadi soal......"
(AR. Baswedan)

Makan sate kambing tidak bisa dijadikan alat ukur nasionalisme, karena sate dan kambing tidak punya ideologi.  Tapi soal sate ini pernah menjadi bahan diskusi di forum penting negeri ini, Sidang BPUPKI. Sebagai penggemar sate dan pengamat konstitusi, tulisan ini akan mencoba melihat sate dari sudut pandang konstitusi.

Siapa sih yang tak mengenal makanan yang bahan baku utamanya daging (kambing, sapi, ayam)? Meskipun dalam perkembangannya ada sate yang berbahan baku tempe (di Solo sate tempe ini sering disebut sate kere), jamur, ular, kura-kura dan bahan-bahan lain.

Semula pengolahan sate memang sederhana, ditusuk dengan lidi atau bambu yang ditipiskan, dengan ujung yang lancip, lalu dipanggang di atas bara. Sekarang ada yang menggunakan jeruji sepeda seperti sate klathak di Jogja. Semula sate terdiri dari potongan kecil  berisi daging 4 biji, namun berkembang ada yang diolah dari daging cacah dan dibalut lemak, disebut sate buntel, sate buntel ini khas Solo, dan lezatnya sampai ke ubun-ubun. Daging kambing yang diolah pun beragam, semula berasal dari kambing yang sudah cukup umur untuk kurban, sekarang ada daging dari kambing Batibul (bawah tiga bulan), duh sadisnya. Dari sekian perjalanan saya menikmati sate, sejak mulai sadar hingga sudah tua, sate Tegal termasuk singada lawan, tiada tanding dan tiada banding rasanya.

Konon sejarah sate bermula sejak abad 19, meski tak jelas waktu tepatnya kapan. Ditemukan dan populer pertama kali di Jawa, sekarang sudah go internasional. Konon, sate ini dipopulerkan oleh pedagang Tamil. Saya sih meragukan informasi ini. Kalau menurut rekonstruksi imajinasi saya, sate bermula dari peranakan Arab di Indonesia. Peranakan Arab yang berasal dari Hadramaut, atau sering disebut Hadhorim, memang gemar makan daging kambing. Mengapa mereka gemar makan daging kambing? Ya karena dalam ajaran Islam, kalau berkurban itu selain lembu juga kambing. Sebab lain, karena memang rasanya enak dan bermanfaat untuk kesehatan.

Para Hadhorim ini membawa tradisi makan daging kambing ke Indonesia. Biasanya mereka mengolah daging kambing dengan dimasak seperti gulai, marak, dan untuk nasi kabuli. Bisa juga diolah dengan digoreng, ini biasanya untuk lauk nasi kabuli. Selain di rebus dan digoreng, seringkali mereka membakar daging kambing, meski cara membakarnya tidak sesuai dengan kaidah per-sate-an yang kita kenal sekarang. Mereka membakar daging dalam ukuran besar, langsung di atas bara. Tiap bagian yang sudah matang, disayat dan disantap (seringkali disantap tanpa nasi). Setelah di sayat, bagian yang belum matang ini dibakar kembali, dan begitu seterusnya sampai habis. Kebiasaan itu tentu tidak praktis, karena itu para pedagang, yang memang jeli membaca pasar, kemudian mengemas dengan memotong-motong daging menjadi ukuran dadu, ditusuk pakai lidi, dan dipanggang.

Sate dan UUD 1945


Karena peranakan Arab ini gemar makan daging kambing, sampai mereka diidentikan dengan santapan daging kambing. Seolah-olah bukan keturunan Arab kalau tidak makan daging kambing. Kemudian terjadi stigmatisasi. Stigma peranakan Arab suka makan daging kambing ini sempat menjadi isu yang diangkat dalam pembahasan UUD 1945. Bukan lebay, serius. Urusan sate sempat mengemuka dalam pembahasan UUD 1945, khususnya pasal 26.
    Sumber foto : https://id.wikipedia.org/wiki/Abdurrahman_Baswedan

Dalam sidang BPUPKI, Mr. Soepomo yang memang jago membuat konstitusi, merumuskan: "warga negara Indonesia ialah orang Indonesia Aseli." Tokoh keturunan Arab yang saat itu menjadi anggota BPUPKI, AR. Baswedan langsung protes. AR. Baswedan merasa keberatan dengan kalimat "Orang Indonesia Aseli" karena itu diskriminatif. Bagi Baswedan, keturunan Arab di Indonesia itu sudah menjadi orang Indonesia, apalagi tahun 1934, sudah ada deklarasi keturunan Arab di Indonesia. Dalam Kongres Pemuda Keturunan Arab di Semarang, 4-5 Oktober 1934, para tokoh pemuda keturunan Arab yang diinisiasi oleh Baswedan dan Nuh Alkaf, mendeklarasikan Sumpah Pemuda Keturunan Arab Indonesia. Isi sumpahnya :

1. Tanah Air Peranakan Arab adalah Indonesia.
2. Peranakan Arab harus meninggalkan kehidupan menyendiri (mengisolasi diri).
3. Peranakan Arab memenuhi kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia.

Dengan dasar itulah maka, keturunan Arab sudah menyatakan diri sebagai orang Indonesia. Nah, dalam argumentasi di BPUPKI itu Baswedan menyebut sate kambing, untuk melawan stigmatisasi.

"Pada ketika sepuluh tahun yang lampau saya duduk dalam Pergerakan Arab Indonesia, didalam kalangan kami, karena dianjurkan dan diinsyafkan dengan sangat hebatnya, maka hingga banyaklah anggota-anggota yang pada waktu itu yang telah mendapat pendidikan, menghendaki supaya menjadi bangsa Indonesia. Itu dengan paham, tuan-tuan, hingga boleh dikatakan bahasa ada orang yang lebih Indonesia daripada orang Indonesia sendiri. Kalau orang, misalnya, tuan ketua, karena pendidikan sekolah Arab berbahasa Arab, ini makan daging kambing orang dianggap masih banyak Arabnya, saya katakan kepada mereka, bahwa banyak makan suka sate kambing tidaklah menjadi soal......" (M. Yamin : 1959, hal 349-350)

Diplomasi "sate kambing" itu, sedikit banyak memang memengaruhi rumusan Pasal 26 UUD 1945, sehingga rumusan baku pasal tersebut berbunyi, "Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia aseli dan bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara."

Sumber :
1. Yamin, Hadji Muhammad, 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, jilid pertama, Jakarta, tanpa penerbit
 2. http://arabische-kamp.com/pemberontakan-dilema-partai-arab-indonesia/

Kamis, 17 Maret 2016

Madura, Wisata Kisah

Selama 2 dua hari, 16-17 Maret 2016, kemarin saya mengunjungi Pulau Madura. Berangkat dari Jogja naik kereta. Saya sengaja memilih kereta, karena memang sudah lama sekali tak pernah menggunakan moda angkutan umum itu di tanah air.
Ternyata, sekarang naik kereta api itu aman dan nyaman. Kita bisa booking tiket secara online, dan saat sebelum keberangkatan self check in di stasiun menggunakan komputer yang disediakan. Berbeda dengan naik kereta jaman dulu, yang harus antri berdesak-desakan utk beli tiket, ditingkahi dengan tawaran calo-calo yang berkeliaran. Salut untuk perubahan besar ini.
Oleh kawan yang sama-sama berangkat ke Madura, saya diberi tips yang hebat. Kalau naik kereta, pilih gerbong terakhir, biasanya kosong, jadi kita bisa pakai 2 kursi untuk kita sendiri. Dan pagi itu saya menikmati perjalanan ke Surabaya dengan kereta api, sambil melanjutkan tidur hahahaha. Mungkin karena saya menghayati lagu Elvi Sukaesih, juk ijak ijuk ijak ijuk kereta berangkat.... juk ijak ijuk ijak ijuk... hatiku gembira.... hahahaha.
Jelas tak ada pedagang asongan di kereta, tak seperti dulu, dimana jumlah pengasong sama dengan jumlah penumpang.
Berangkat jam 06.40 dari Jogja, tiba di Stasiun Gubeng Surabaya jam 11.40 sekitar 5 jam perjalanan.
Dari Gubeng saya dijemput oleh utusan dari Pondok Pesantren As Salafiyah, Pakong, Pamekasan. Perjalanan dari Gubeng ke Pakong sekitar 4 jam, itupun sopirnya sudah ngebut... wuzzz. Melewati jembatan terpanjang di Indonesia, Suramadu. Bukan kali pertama saya melintasi jembatan ini, tapi setiap melintasi jembatan ini saya selalu teringat kapal-kapal Feri yang dulu pernah saya tumpangi. Juga teringat saat kapal feri yang pernah saya tumpangi terantuk karang, dan hati jadi ciut hahahaha.
Sebagai jembatan terpanjang, jembatan melintasi selat pertama di Indonesia, Suramadu memang layak dibanggakan, dan mengagumkan. Saya menikmati perlintasan itu dengan pikiran takjub.
Daratan pertama yang dijejak setelah melewati Suramadu, ialah Bangkalan. Di daerah ini terkenal dengan bebek Sogkem, atau bahasa jawanya sungkem. Kuliner yang enak, saya pun tak mau melewatkan kesempatan makan bebek sogkem. Kami berenti di salah satu warung di Bangkalan, memesan bebek sogkem. Rasanya memang khas, apalagi udara panas menyelimuti warung. Kondisi itu pasti membuat makan jadi lahap.
Selesai menyantap sogkem, perjalanan dilanjutkan. Berhenti sebentar di Tanah Merah untuk sholat jama'-qoshor dhuhur dan Ashar.
Kecamatan Pakong, merupakan dataran tinggi, udaranya sejuk. Dari salah satu sudut di Pakong, kita bisa melihat Laut Jawa. Masyarakat Pakong memiliki mata pencaharian berkebun dan petani, atau berdagang. Menurut kawan saya, untuk masyarakat Pakong daerah utara, banyak yang merantau menjadi TKI/TKW di Malaysia atau Arab Saudi. Di wilayah Pakong Utara itu, lazim dijumpai rumah berukuran besar dengan bangunan yang megah, tapi dihuni oleh rerumputan, karena manusia pemiliknya masih menjadi TKI/TKW di Malaysia atau Arab Saudi. Meski tidak semua orang di Pakong yang merantau itu beruntung, ada juga yang tidak pernah kembali dan tak tau dimana rimbanya. Ada pula yang kembali dengan kondisi lebih memprihatinkan dibandingkan saat berangkat. Ada pula yang sukses dan menjadi pengusaha di Malaysia, bahkan pindah kewarganegaraan di sana.
Kisah orang-orang Pakong yang sukses ini agak menprihatinkan. Hahahaha aneh ya, sukses tapi memprihatinkan. Cerita kawan saya, ada orang yang sukses di Malaysia/Saudi dengan cara mempekerjakan tetangga mereka yang sama-sama merantau, tetapi sang tetangga bekerja tanpa diupah, hanya diberi makan dan tumpangan tidur. Ada pula yang sukses karena berdagang narkoba, konon menurut cerita, mengoplos sabu di dekat Masjidil Haram, akhirnya ketangkap dan dipancung. Ada pula kisah sukses pengusaha asal Madura ini yang menjadi pengusaha mebel di Malaysia. Anaknya dititipkan sang nenek yang tinggal di Pakong. Saat sang anak kuliah, diberi tabungan ratusan juta, sekedar untuk biaya hidup.
Pesantren As Salafiyah, yang sudah berdiri selama 4 generasi menjadi prototype ideal pesantren di daerah yang "keras" itu. Ada santri yang bapaknya "preman". Ada pula orang tua yang memandang pesantren itu tempat penitipan anak, dan untuk yang terakhir ini jumlahnya banyak.
Putra Kyai Pesantren As Salafiyah ini menuturkan perjuangan pesantren untuk meningkatkan taraf pendidikan masyarakat. Sepuluh tahun lalu mereka mendirikan madrasah tsanawiyah. Berdiri dengan fasilitas seadanya, dengan guru yang juga seadanya. Bahkan ada guru, mengajar Bahasa Inggris dan Bahasa Arab, sementara sang guru tak punya ijazah SMP... hahaha getir... Tapi berkat ketulusan Pak Kyai, sekolah terus berjalan dan berkembang, kini Pesantren As Salafiyah punya SD/MI, SMP/Tsanawiyah, SMA/Aliyah, dan SMK. Dan rencananya akan segera membuka kampus Sekolah Tinggi Ilmu Syariah. Dan sang guru SMP yang dulu tak punya ijazah SMP itu kini sudah bergelar Master.
Pesantren berusaha agar santrinya mengenyam pendidikan tinggi, mereka pernah bekerjasama dengan perguruan tinggi di Madura untuk bermitra, agar santrinya bisa kuliah. Bahkan pesantren membeli bus khusus untuk mengangkat para santri dari pesantren ke kampusnya di Pamekasan. Mengapa membeli bus? Karena ada kejadian seorang santri mendapat musibah kecelakaan saat hendak kuliah dengan mengendarai motor. Dari peristiwa itu, Pak Kyai tak ingin ada musibah lagi, maka dia beli bus.
Ada pula santri yang cerdas, lulus bidik misi di Universitas Airlangga, biaya kuliah gratis plus uang saku 600 ribu perbulan. Luar biasa. Pihak pesantren ingin mengabarkan pada orang tua santri tentang keberhasilan putrinya. Dan bagaimana tanggapan orang tua santri? Senang? Tidak, biasa saja. Kabar gembira itu ditanggapi dengan datar, "Ya silahkan kalau anak saya mau kuliah, tapi kalau saya harus mengeluarkan uang sepuluh ribu rupiah saja, lebih baik tak usah kuliah." Hmmmmm.
Dan bagaimana dengan wali santri yang preman itu? Dia ingin anaknya kuliah di universitas ternama, jurusan kimia. Saat ditawari bea siswa, wali santri itu menolak, dan menjawab, "saya masih mampu membiayai sendiri."
Itulah Pakong, itulah Pamekas, itulah Madura. Dan seringkali kita merasa Madura adalah kita.

Sabtu, 12 Maret 2016

Bangkok : Tips Aman

Jalan-jalan ke Thailand khususnya Bangkok, pasti seru. Mau apa saja ada. Wisata sejarah banyak, wisata religi tak terbilang jumlahnya, wisata budaya tersebar dimana saja. Wisata belanja? Surganya belanja.
Dengan segala destinasi yang pasti membuat turis terkagum-kagum, maka tak heran kalau trip ke Bangkok menjadi favorit.
Tapi, seperti kata bijak, mawar yang indah selalu menyembunyikan duri. Hahaha kalau mawar tak berduri, pasti ke-mawar-annya diragukan.
Okelah, kita tak mau membahas soal mawar, tapi soal "duri" di Bangkok.
1. Kalau mau ke Thailand, jangan lupa belajar bahasa tarzan, karena banyak orang Thailand tak bisa bahasa Inggris. Mungkin memang seperti itu kebijakan di negara Gajah Putih itu, nasionalis sejati. Nama-nama jalan terpampang dengan ukuran besar, berhuruf Thai, terkadang ada yang berbahasa Inggris tapi kecil, tak sebesar huruf Thai.
2. Malu bertanya kantong bolong. Hahaha. Jangan malu untuk bertanya. Tapi jangan juga sembarang tanya. Bertanyalah pada orang yang tepat. Jangan tanya rute ke Pat Pong pada supir taksi, itu sama saja artinya anda menyerahkan diri pada singa yang kelaparan. Untungnya atau hebatnya, di Thailand ada banyak Tourist Information. Di Bandara dan di tempat-tempat yang menjadi favorit turis, pasti ada Tourist Information. Dan hebatnya lagi di Tourist Information segala informasi tentang Thailand sangat lengkap. Tempat-tempat wisata, rute kendaraan umum : bus, kereta, jadwal atau event pertunjukan, tempat kuliner, termasuk kuliner halal. Dan informasi itu disediakan secara gratis. Jadi jangan segan-segan datangi Tourist Information. 
3. Hati-hati dengan taxi di Thailand. Meski tertulis dengan huruf besar-besar Taxi Meter, tapi sebagian besar taxi di Thailand lebih suka tak pakai argometer. Kalaupun mereka mau menggunakan argometer, jangan langsung tenang, buka dan amati peta supaya tidak tersesat bersama taxi. Biar lebih nyaman pakai saja aplikasi map. Kami kebetulan menggunakan aplikasi Waze. Dan dengan gaya cuek suara petunjuk arah, aku besarkan volumenya, biar supir taxi dengar dan tau kalau kita tak bisa dibohongi. Kalau itu dilakukan, maka jangan heran kalau wajah supir taxi jadi muram hahahaha.
Memang tidak semua sopir taxi di Thailand seperti itu, ada juga yang baik. Kami pernah menumpang taxi meter, sopirnya lelaki tua, sekitar 50 tahun. Penampilannya simpatik. Semula kami was-was, tapi ternyata dia sopir taxi yang baik, dia bahkan menunjukkan tempat-tempat bersejarah atau kebanggaan warga Thailand, pada rute yang kami lewati.
4. Rumah Makan paling mahal
Satu lagi, kalau lapar dan ingin mencari tempat makan/rumah makan, jangan mudah percaya pada sopir taxi. Dan kalau sudah masuk ke rumah makan, pilih saja menu yang ada daftar harganya. Kalau menu yang anda sukai tak ada harganya, lebih baik tanya dengan detail, berapa harga, satuannya apa (perbiji atau perons). Sebab kami pernah makan ikan goreng yang beratnya hanya 8 ons (menurut pengakuan pelayan restoran), harganya waooow 1,2 juta.... inilah ikan termahal yang pernah kami makan. Nama restoran itu Soon Boon Po Resto (Fish Market). Hati-hati kalau anda ke tempat ini. Rumah makan ini sudah terkenal keburukannya.
5. Jangan sok akrab dengan pelayan restoran, atau sopir taxi. Karena keramahan anda bisa dimanfaatkan mereka untuk menguras isi kantong. Berbicaralah secukupnya, jangan mengubah tujuan awal setelah di dalam taxi.
6. Rajinlah meminta petugas untuk membersihkan kamar. Karena beberapa hotel baru akan membersihkan kamar kalau kita minta.
Pun begitu, Thailand tetap saja negara yang bagus dan layak dijadikan destinasi anda. Jangan sampai karena problem-problem di atas membuat anda tak jadi ke Thailand, kerugian ditanggung sendiri hahaha.

Taxi ini yg membuat kami harus membayar mahal jalan-jalan ke Thailand. Kami diantar ke tujuan yang tidak sesuai dengan perjanjian awal. Berikutnya kami diantar ke rumah makan yang menipu kami dg tarif ikan goreng seberat 8 ons seharga  hampir 1 juta.
Pada kesempatan lain, kami naik taxi dengan warna yang sama, dan mendapat supir tang baik

Melaka, Melayu Sesungguhnya

Agenda Gengk Hedon selanjutnya mengunjungi Melaka, kota tua yang di Indonesia nama itu selalu tertulis dalam buku-buku pelajaran sekolah. Melaka selalu dikaitkan dengan kerajaan Melayu pertama, juga dengan Selat Malaka yang jadi perlintasan strategis serta paling sibuk di dunia. Melaka, beberapa tahun terakhir juga sering jadi pemberitaan karena banyaknya perompak. Dan bagi orang Indonesia yang berduit, Melaka sering jadi tujuan berobat, ya dimana lagi kalau bukan di RS Mahkota.
Nama Sultan Mudzafar Syah begitu melegenda, dan disebut sebagai masa kejayaan Melaka. Meski Melaka sendiri didirikan oleh Prameswara pada awal abad 15. Melaka yang berada di wilayah strategis, menjadi incaran berbagai bangsa, termasuk Majapahit. Bangsa Portugis, Inggris, dan Belanda juga pernah menduduki Melaka. Rentetan sejarah yang panjang itu, akan tercermin di musium yang ada di Melaka. Ada belasan musium yang dapat dijadikan destinasi wisata sejarah. Mengunjungi musium-musium itu membuat kita mampu membaca masa lalu. Selain di kawasan Stadhuys atau juga disebut Red Square (karena semua gedung di kawasan ini berwarna merah), Melaka juga mempunyai kawasan yang lekat dengan sejarah (mitos?) Hang Tuah.
Dari Kuala Lumpur, kami ke Melaka naik mobil pribadi, pinjaman seorang kawan. Perlu waktu 3 jam perjalanan, dengan sekali berhenti untuk minum kopi dan merokok, ke Melaka. Begitu masuk Bandar Melaka, kami menuju jalan Dataran Pahlawan, letaknya bersambungan dengan Stadhuys. Begitu masuk ke wilayah Stadhuys yang serba merah, dengan bangunan kuno yang terjaga apik dan rapi, akan mengingatkan kita pada kota tua di Jakarta, atau kawasan Pecinan di dekat Benteng Marlborough, Bengkulu. Dan ternyata antara Bengkulu dan Melaka punya kaitan historis. Saat Melaka dikuasai Belanda dilakukan pertukaran daerah pendudukan antara Belanda dan Inggris. Inggris menukar Bengkulu dan mendapat Melaka. Sedang Belanda akhirnya menguasai Bengkulu. Maka itu memandang Melaka mengingatkan saya pada daerah Pecinan atau biasa disebut Kampung China, Benteng Marlborugh, dan Pantai Panjang, Bengkulu.

Begitu memasuki Stadhuys, mobil kami berheni di Melaka City, kawasan ini sejak 7 Juli 2008 dinobatkan oleh Unesco sebagai World Heritage Site. 
Dari tempat kami berhenti langsung terlihat secara mencolok Jam Menara Stadhuys. Jam Menara ini dibangun oleh Gubernur Jendral Belanda tahun 1650.
Bersebelahan dengan menara Jam, terlihat bangunan Christ Curch Melaka. Di bawah tulisan Christ Church Melaka tertulis tahun pendiriannya 1753. Gereja yang semula bernama Dutch Reformed Church ini dibangun oleh penjajah Belanda. 40 tahun kemudian, tepatnya 1795 gereja itu diambil alih oleh Inggris dan namanya berganti menjadi Anglican Church. Dan gereja ini menjadi gereja tertua di Malaysia.
Di Samping gereja berdiri Musium Sejarah dan Etnografi Belanda. Bisa disebut inilah musium yang secara lengkap menggambarkan sejarah Melaka. 



 Di belakang Musium Sejarah dan Etnografi Melaka, ada Musium Ceng Ho, di dekat musium itu juga ada Mobil Pemadam Kebakaran lama.
Masih ada lagi musium Sastra, Musium Kerajaan Melaka, Musium Kemerdekaan, dan berbagai musium lain. Dalam tulisan berikutnya akan kita bahas satu persatu musium itu.
Buat anda yang hobi wisata sejarah, tak cukup waktu satu hari mengunjungi Melaka. Sebenarnya kami masih ingin berlama-lama di Melaka, tapi karena jadwal penerbangan kami pulang ke Indonesia keesokan harinya, maka kami harus berpacu dengan waktu mengunjungi berbagai musium itu, dan juga mengujungi tanah Hang Tuah.


Rabu, 09 Maret 2016

Muzium Kesenian Islam Malaysia

Destinasi kami selanjutnya ke Malaysia. Dari Bangkok kami naik pesawat Malindo. Sekitar 1 jam perjalanan dari Bangkok ke Kuala Lumpur.
Setiba di Kuala Lumpur, kami naik kereta api menuju Kuala Lumpur Sentral. Kuala Lumpur Sentral ini mulai digunakan sejak tahun 2001, dan dinobatkan sebagai Stasiun kereta api terbesar di Asia Tenggara. Dari station central kami naik taksi menuju China Town, tempat kami menginap. Kami menginap di Hotel Pacific Express, yang berada di jalan Hang Kasturi, Kuala Lumpur.


China Town tempat yang menarik, dekat dengan Kuala Lumpur City Centre (KLCC) Menara Kembar Petronas. Di seputaran China Town ini kita bisa jalan-jalan sambil belanja di Petaling Street, juga dengan Central Market atau Pasar Seni, di sini kita bisa belanja, barang seni dan kerajinan, juga oleh-oleh.

Target kami memang bukan Kuala Lumpur, destinasi kami ada dua spot, yaitu Muzium Kesenian Islam, dan Melaka. Sebelum menuju Muzium Kesenian Islam, kami menyempatkan diri sarapan di Kampung Bharu, tempat kuliner khas Malaysia. Dan pagi itu kami makan nasi lemak di warung Wak Wanjor. Selama seminggu perjalanan, baru pagi itu kami makan enak, maksudnya yang sesuai dengan selera dan sesuai di lidah.




Muzium Kesenian Islam Malaysia (Islamic Arts Museum Malaysia), merupakan musium yang diinisiasi secara pribadi oleh Syed Mohamad Albukhary. Dalam musium ini tersimpan 7.000 artefak yang dikumpulkan dari China, Maroko, Turki, Iran, India dan negara-negara lain. Di musium ini tersimpan koleksi benda-benda peninggalan sejarah Islam dari seluruh dunia, juga ada replika masjid-masjid terindah dari seluruh dunia. Ada pula produk tekstil dari berbagai penjuru negara muslim. Baju zirah, senjata, dan kitab-kitab kuno. Musium terdiri dari tiga lantai. Sangat menyenangkan berada di musium ini, kita seperti diajak masuk ke abad kegemilangan Islam (meski hal itu menyiratkan kesedihan, mengapa Indonesia --negeri dengan penduduk muslim terbesar-- tak memiliki musium semacam itu). 




Sebenarnya Haji Mas Agung, sekitar tahun 80-an pernah menggagas "musium" semacam itu. Saya ingat sekitar tahun 1987, di Toko Buku Mas Agung jalan Adi Sucipto Jogja, depan kampus UIN, pernah diadakan pameran sejarah Islam. Tapi entah bagaimana sekarang nasib rintisan Haji Mas Agung itu.
Di lantai bawah, atau lantai G, ada Muzium Shop, kita bisa membeli pernak-pernik yang disediakan. Saya sempatkan membeli kaos bertuliskan Muzium Islam Malaysia.