Sabtu, 27 Februari 2016

Arab Town di Thailand

Meski mereka berkalabiya dan berburkat, dan berasal dari Timur Tengah, jangan pernah memberi penilaian yang menggeneralisasi. 

Sehabis Isya, kami jalan keluar hotel, mencari makan halal. Tak jauh dari hotel, ada warung kaki lima, penjualnya muslim dari Patani. Kami berlima makan dan hanya membayar 180 bath saja.
Langkah selanjutnya menuju Sukhumvhit. Naik taxi seharga 200 bath. Sampai di Sukhumvit, pemandangan di sini sama dengan Pat Pong, penuh manusia. Tapi ada hal yang membedakan kawasan ini dengan Pat Pong : di sini ada kampung Arab. Bukan dalam arti kampung Arab seperti Sasak Surabaya, Pasar Kliwon Solo dan sebagainya. Tapi berseberangan jalan dengan Nana Plasa, anda dapat menjumpai kawasan dengan banyak wajah-wajah Arab, toko-toko di wilayah ini menggunakan nama berbahasa Arab atau hal-hal yang identik dengan Arab. Makanan yang dijual juga menu Arab, tentu saja shisha juga banyak dijual.
Pertama kami mencoba berjalan di kawasan Nana Plaza. Tidak banyak berbeda dengan Pat Pong, perbedaannya di sini Penjaja Seks Komersial (PSK) berderet di pinggir jalan menjajakan diri. PSKnya bisa perempuan atau lelaki atau banci. Beruntunglah wajah kami sama dengan wajah penduduk Thailand, jadi kami tidak digoda oleh mereka. Lagi pula untuk apa mereka menggoda kami, segerombolan lelaki tua rapuh, yang tak pernah mau menyentuh alkohol.
Alkohol seperti sebuah kata pembuka bagi transaksi dunia malam di tempat ini. Bar-bar menjajakan minuman beralkohol, dan bila anda masuk bar akan disambut perempuan cantik dan seksi yang siap mendampingi anda ngobrol dengan syarat ditraktir minum. Dan kalau anda setuju, perempuan itu akan memilih minuman mahal, dan bisa habis berbotol-botol. Bocor tuh kantong. Kami tak pernah minum, jadi tak minat masuk ke bar. Karena katanya kalau ke Thailand tak lengkap kalau belum ke Pat Pong dan Nana Plasa, ya jadi kami kesana. Berarti kami sudah lengkap kan? 
Selanjutnya kami menyeberang jalan ke kampung Arab yang tepat berseberangan jalan dengan Nana Plasa. Aroma Timur Tengah tercium kuat, bau shisha, parfum, dan kebab. Pemilik warung makan di sini sebagian berasal dari India dan Turki. Kenapa Indonesia tak ada? Entah. Tanya saja pada rembulan malam.
Karena kawasan ini banyak dihuni oleh turis dari negara-negara Arab, maka wajar saja jika kemudian fasilitas bagi mereka disediakan. Beda dengan daerah lain di Thailand, di sini kita akan sering mendengar bahasa Arab, namanya juga kampung Arab. Itu nama pemberian kami, bukan nama sesungguhnya.
Penyediaan fasilitas seperti saya sebut di atas, termasuk diantaranya fasilitas pemenuhan birahi. Jadi tak perlu heran kalau di pinggir jalan ada perempuan berpakaian hitam dengan burkat hitam mendekati dan menawarkan diri. Kami juga didekati perempuan berkalabiya hitam dan burkat hitam yang mengaku dari Iran. Sebagai peneliti, tentu kesempatan ini tak kami sia-siakan untuk dapat ngobrol, mengorek informasi dari mereka. Tapi karena kami orang baik-baik, dan tujuan ke Thailand bukan untuk hura-hura, jadi kami tak berminat dengan tawaran-tawaran mesum itu.
Meski mereka berkalabiya dan berburkat, dan berasal dari Timur Tengah, jangan pernah memberi penilaian yang menggeneralisasi. Wajar saja kalau ada permintaan maka ada penawaran. Ada gula ada semut.
Kami sempat masuk ke salah satu kafe di tempat ini, di dalam kafe suasananya mengingatkan saya pada Naquib Mahfoudz Caffe di salah satu lorong Khan El Khalili, kawasan Husainiyyah, Mesir, daerah yang disebut Naquib Mahfud dalam novel Lorong Midaq. Aroma sisha dan kehangatan "bubur" Syurba Adas itu kembali hadir dalam imajinasi. 
Lewat tengah malam, kami beranjak pulang dan packing, karena besok siang kami akan ke Kuala Lumpur.

Jumat, 26 Februari 2016

Wat Po... Sekolah Thai masage

Hari ketiga di Bangkok, dimulai dengan minum kopi. Kalau belum minum kopi, artinya belim bangun tidur😀😀. Harusnya hari ini kami ke Pataya, tapi karena alasan transportasi akhirnya agenda itu kami batalkan. Istilah Pak Harto dulu, "ora nang Pataya yo ora pathe'en." Hidup ini kita buat sederhana saja. Dan itu sekaligus tips buat kalian yang ingin ke luar negeri. Jangan memaksakan diri, kalau memang dirinya tidak mau dipaksa hahaha.
Jam 10 kami berangkat dari hotel, nawaitu ke Wat Po kuil Budha Tidur, jalan kaki, demi disebut backpacker😀😀. Tapi kami tidak langsung ke lokasi, mampir-mampir dulu. Pertama mampir ke pusat informasi tourist. Lhadhalah di sana malah ketemu mbak Wulan, mahasiswa Indonesia asal Bali yang lagi praktek kerja di Tourist Information Bangkok. Kami banyak dapat banyak info penting dari mbak Wulan. Plus banyak mengambil leaflet/buku pariwisata Thailand. Sepertinya Indonesia, atau Jogjaku yg istimewa itu perlu belajar deh soal kelengkapan info turisme.
Dari tourist information office kami menuju OK Star Bung Coffe. Kemarin hanya kami lewati, dan sekarang kami singgahi. Pesan 2 cangkir kopi, dan 2 cangkir teh tarik, atau mereka menyebutnya Thai tea. Terserahlah apapun namanya, yg penting kami nikmati. Di situ kami beli karopok alias kerupuk hahaha mirip kan namanya, khas Narathiwat, Patani. 1 cangkir minuman itu dihargai 5 bath, kurang dari 2000 rupiah, plus bonus 1 sticker brand "star bung". Gila juga ibu pemilik warung, sekedar kaki lima kelas ecek-ecek tapi sadar promosinya bagai perusahan multinasional. Ibu itu juga senang kalau warung beserta dirinya di photo. Nah ini pelajaran penting buat warung angkringan di Jogja... sadar promosi itu penting.
Dari ngangkring, kami memulai perjalanan ke Wat Po, melewati universitas Tamashat. Tepat di ujung Grand Palace, ambil kanan sedikit terus belok kiri lurus sampai ketemu Wat Po.
Dengan segala kesabaran dan keikhlasan sampailah kami di Wat Po. Masuk ke Wat Po harus membayar 200 Bath. Tanpa basa-basi begitu masuk, langsung menuju ruangan utama. Tempat Reclining Budha, Budha yang sedang berbaring miring, dengan kepala bertelekan tangan. Patung Reclining Buddha dibuat dari semen yang dilapisi kertas emas. Ukurannya cukup besar 46 m x 15 m. Tentu sulit mengambil gambar secara utuh, harus sepotong-sepotong. Di bagian belakang patung Reclining Budha, ada mangkok-mangkok berisi koin. Mau mengetahui keberuntungan Anda? Belilah koin semangkok yang dihargai 20 bath, lalu masukkan koin-koin itu ke dalam mangkok-mangkok yang berbari rapi di sisi kanan. Kalau bisa mencapai akhir, maka anda beruntung. Jelas beruntung, karena pekerjaan anda tuntas sampai titik penghabisan.
Kuil Wat Po atau lengkapnya
Wat Phra Chettuphon Wimon Mangkhlaram Ratchaworamahawihan, merupakan komplek perubadatan yang menggambarkan 10 tahap kehidupan Budha. Karena itu di bagian lain dari ruang utama itu, ada ruangan lain yang menggambarkan Budha ketika masih muda. Di tempat ini banyak yang berdoa, atau sekedar duduk bersila. Suasananya lebih spiritual di sini daripada di tempat lain.
Selesai berkeliling, kami menuju sekolah Thai Masage. Kalau mau masage di sini harus antri dan bayar 480 bath/jam. Semula kami ikut antri. Dapat nomer 61-74. Salah seorang kawan mengusulkan cari makan dulu, akhirnya kami harus keluar dari komplek kuil, mencari sesuap nasi....
Saat mencari sesuap nasi itu tiba-tiba (hahaha lebay dikit ya biar seperti buku dongeng atau sandiwara radio), kami membaca tempat thai masages. Maka setelah makan siang, kami tak kembali ke kuil, tapi pijat di tempat itu. Jelas tempatnya lebih enak dan nyaman dibanding di sekolah pijat dalam kuil. Dan harganya lebih murah 60 bath. Saya sampai ketiduran karena enaknya merasakan pijatan.
Selesai urusan pijat memijat, kami berencana ke Mah Boon kaan, pusat perbelanjaan yang katanya menjual barang apa saja dengan harga murah. Dari Wat Po menuju MBK, begitu biasanya orang menyebut, kami naik taksi dengan menggunakan jurus "supir mati kutu" itu jurusan original yang kami rumuskan. Jurusnya sederhana saja kok, panggil taksi, minta tarif menggunakan taxi meter/argometer, lalu buka map. Saya kebetulan menggunakan aplikasi Waze, saya pakai aplikasi itu dengan volume full, jadi sopir taksi tau dengan pasti kalau dia tak bisa menipu kita, karena kita tau persis arah tempat yang mau kita tuju. Terima aksih mbak Wulan, tipsnya sangat bermanfaat. Dan biaya taksi dari Wat Po ke MBK yang berjarak sekitar 6 km, hanya 87 bath, kalo taksi tembak/tanpa argo bisa bayar 150 sampai tak terhingga, tergantung nasib buruk anda hahaha.
Dan benar MBK itu pusat perbelanjaan yang akan memanjakan anda tapi membahayakan nasib tabungan. Harganya memang relatif murah, dan lengkap.
Tidak terasa kami putar-putar Wat Po, plus makan malam, sejak jam 4 sore sampai jam 9 malam.
Masih belum puas, kami menuju Pat Pong Night Market. Ini wilayah unik, semua hal diperdagangkan, termasuk perdagangan syahwat☺😊. Kalau bisa menawar, di tempat ini harganya bisa lebih murah dari MBK. O ya dari MBK ke Pat Pong yang jaraknya kurang dari 2 km, kami pakai Tuk Tuk, kendaraan khas Thailand, bayarnya 100 bath. Hahaha ini unik juga, kalau anda bilang ke sopir tuk tuk anda akan ke Pat Pong yang sex show, sang sopir akan mematok harga tinggi, paling tidak 150 bath. Tapi kalau ke night market, maksimal 100 bath.
Hmmmm Pat Pong, ini legenda yang banyak diburu turis. Tapi bagi kami biasa aja, bukan sesuatu yang penting. Kami melihat barang-barang yang diperdagangkan, souvenir atau fashion. Sambil sesekali melirik ke dalam bar/diskotik... tempat perdagangan yang lain. Tapi "perdagangan yang lain" itu tak menggugah minat kami

Kamis, 25 Februari 2016

Grand Palace

Hari kedua di Bangkok, kami mengawali dengan melihat kampus Tamshat University, Bangkok. Letaknya tidak jauh dari hotel tempat kami menginap. Berjalan kaki sambil selfie. Tepat di samping kiri sebelum pintu gerbang universitas Tamashat, ada warung kecil yang menarik perhatian kami, tertulis "OK Star Bung Coffee" hahaha anda merasa kenal tapi aneh? Bukan Star Buck.
Di Thamasat, melihat bangunan kampus itu, mengingatkan kami pada kampus-kampus di Jogja, tidak banyak berbeda. Lalu kami ke kantin yang posisinya di tengah, antara kampus dan sungai Chao Praya, sungai yang membelah Bangkok. Di tempat ini ada satu warung yang menjual menu halal. Kami memilih menu makanan yang mirip pempek, entah nama aslinya. Warung ini layak kami beri nilai 8, bersih, murah, taste nya sesuai di lidah. Sehabis makan, menikmati pemandangan sungai sambil foto dan selfie.
Sebatang rokok cukup untuk mengantar kami berjalan menuju Grand Palace, meju wajib semua turis.
Grand Palace didirikan pada periode Rattanakosin tahun 1782 oleh Raja Taksin. Kompleks kerajaan ini memiliki luas 218.000 meter. Bisa dibayangkan kalau ingin keliling seluruh bangunan yang ada di komplek. Tapi Anda tak akan merasa capek, karena banyak pemandangan indah dan segar yang akan memanjakan mata dan hati atau pikiran..... halah bahasanya bertele-tele.
Masuk ke komplek Grand Palace tidak boleh memakai celana pendek bagi laki-laki....Bukan sesuatu yang aneh, di Imogiri Jogja sama saja, tidak boleh pakai celana pendek. Memang tidak salah Grand Palace jadi tujuan utama, karena memang tempat ini indah, pengerjaan ornamen dan hiasan yang ada di istana ini sangat detail. Suatu saat akan kita bahas sendiri.
Lebih dari 4 jam kami berkeliling. Di beberapa spot anda dilarang memotret, ada penjaga yang selalu memelototi gerak-gerik anda, juga ada cctv. Kecuali kalau anda jago candid... hahaha ada triknya untuk mengambil gambar di tempat terlarang itu. Grand Palace saya beri nilai 8.
Dari Grand Palace kami makan dulu di Taj Maharaj. Tempat ini nyaman untuk istirahat dan makan siang. Kami memilih makan kebab. Penjualnya orang Pakistan, cukup ramah. Rasa kebabnya familiar. Saya menilainya 7.
Dari Taj Maharaj, kami akan menuju Wat Arun naik perahu. Sebenarnya lokasi Wat Arun tidak jauh dari Taj Mahàraj, tapi karena di Thailand ini sangat sulit menemukan orang yang bisa bahasa Inggris. Bahasa inggrisnya patah-patah dicampur dengan bahasa Thailand.... Tour tanpa tersesat kurang seru. Tersesat itu bagian dari tour.
Sayang candi di Wat Arun sedang dibangun, jadi kami tidak bisa menikmati naik candi.... Meski kalau dibuka, belum tentu juga kita akan naik, kaki sudah gempor keliling Grand Palace😀😀. Di antara Taj Maharaj dan Wat Arun kami sempat berhenti di Wat Prank, patung Budha Tidur... Sayup-sayup kita dengar "pengajian" seperti di Jawa Timur... Tapi tentu saja di sini pengajian agama Budha dan dengan bahasa Thailand.
Sepulang dari Wat Arun, kami kembali ke hotel, istirahat.
Hari kedua di Thailand ini lumayan asyik. Kami sempat pula mencicipi buah mangga yg sudah dipotong-potong,  dijual 100 bath dua buah mangga. Kalau nanas dihargai 50 Bath. Makanan dan minuman di Bangkok relatif harganya murah. Itu kalau kita tidak tertipu hahaha.
Thailand disebut negeri malaikat. Tapi.... sulit sekali menjumpai malaikat hahaha
Menurut kawan kami, yang menjadi dosen tamu di Tamashat, Raja Bhumibol Adulyaded sedang sakit. Sudah 2 tahun tidak pernah muncul ke publik. Rumor yang berkembang, sebenarnya raja sudah wafat, tapi kematiannya dirahasiakan. Pewaris kerajaan konon tidak cukup memiliki kemampuan untuk menjadi raja, jadi belum ditunjuk siapa putra mahkota. Hmmmm i dont care... itu urusan internal Thailand.

Rabu, 24 Februari 2016

Its My Life

Lagu Bon Jovi berjudul Its My Life kencang terdengar saat hidangan makan malam yang kami pesan, sea food, terhidang di meja. Ya... its my life atau its we life karena kami pergi berlima ke Bangkok.
Perjalanan dari Jakarta ke Bangkok sekitar 3 jam dengan Airasia. Dari Bandara Don Muang kami pesan taksi bandara, dengan tarif 800 bath (kurang dari 320 ribu rupiah) menuju kawasan Khaosan Road. Kawasan ini sering disebut surganya backpacker. Banyak hotel, hostel, guest house di sini. Dan kami memilih menginap di New Siam II Hostel.
Begitu masuk hotel, kami langsung menyalakan wifi yang disediakan hostel dengan tarif 75 bath untuk 1 pesawat selama 3 hari. Biasalah.... kasih kabar ke keluarga, saudara, kawan, tetangga, dan orang yang kami kenal ataupun orang yang mengenal kami. Its My Life... kami sudah di Bangkok.
Hanya sebentar di kamar, kami segera ingin menikmati suasana malam di Khaosan Road. Bersama sang doktor yang sudah menunggu di hotel, kami menyusuri kehidupan Khaosan Road di malam hari. Bukan kehidupan malam loh...
Ya kawasan Khaosan ini lebih mirip dengan Malioboro plus Pawirotaman. Di kanan kiri jalan banyak warung makan, pedagang kaki lima yang menjual aneka makanan atau kerajinan. Bising musik, karena hampir tiap warung makan menyediakan live music. Its my life, nikmati saja suasana ini. Meski kalau di Jogja belum tentu lima tahun sekali kami menginjakkan kaki di Malioboro....
Tengok kanan tengok kiri, ibarat turis menikmati segala situasi. Jepret sana jepret sini seperti jurnalis foto yang tidak profesional.
Berusaha mencari sim card agar kami bisa online, tapi dari sekian banyak gerai 7eleven, tak satupun yang menyediakan simcard untuk akses internet.
Hmmmm tentu kami harus segera mencicipi sesuatu yang Bangkok.... tak mungkin lidah kami biarkan untuk tidak segera merasakan kehadiran diri kami di Bangkok. Banyak camilan, buah-buah segar utuh atau sudah dipotong-potong. Ada juga yang menjual kalajengking goreng, jangkrik goreng, belalang, dan macam-macam binatang aneh lain. Kami lebih memilih yang aman saja, coconut ice cream. Beli dari pedagang kaki lima, seharga 50 bath, kurang dari 20 ribu rupiah. Coconut ice cream ini : kelapa muda dibelah, dikerok dagingnya, lalu diberi es cream, coklat dan taburan kacang. Hmmm lumayan enak. Saya nilai 6.
Kami terus berjalan menyusuri lorong yang padat pejalan kaki. Hingga ujung jalan. Lalu kembali menyusuri jalan yang telah kami lalui. Kali ini targetnya mengisi perut yang mulai "bernyanyi". Kami memilih makan sea food, lebih 'aman'. Cukup lama hidangan pesanan tersaji. Tapi bagi kami tak mengapa, bisa foto-foto 'pemandangan'. Makan ikan, udang galah, ca kangkung, dan masakan daging sapi untuk berlima, dihargai 820 Bath.. sekitar 350 ribu... samalah dengan harga di Jakarta. Hehehe ini backpacker elit kali ya. Untuk menu makanan, saya beri nilai 6
Setelah kenyang, kami kembali pulang ke hotel. Sebelum sampai hotel, langkah kami yang mulai lelah ini terhenti karena pesona alunan musik yang rancak. Rupanya seorang musisi tradisional, dengan alat musik tradisional sedang menunjukkan kebolehannya. Seperti gendang tapi terbuat dari logam, juga mirip gong.
Sang musisi asyik bermain, dan kami asyik mendengarkan.
Hari pertama di Bangkok, cukuplah, sekedar mengetahui kondisi Bangkok.

Selasa, 23 Februari 2016

Backpacker ke Bangkok

Hari ini, Gank Hedon akan memulai jalan-jalan ke Bangkok dan Malaysia. Seminggu full.
Sebelum berangkat, segala persiapan sudah dilakukan. Pesan tiket pesawat pulang-pergi, booking hotel di Bangkok dan di Kuala Lumpur. Persiapan keperluan pribadi sudah dibuat checklistnya, dan tinggal dimasukan ke ransel. Seorang anggota Gank Hedon, yang lebih suka menyebut diri sebagai "warga emas" (bahasa Malaysia, bahasa Indonesia : Manula😀😀) mempunyai daftar keperluan pribadi 3 lembar. Berlebihan? Itu hak masing-masing. Jangan pulak kita melarang, nanti disebut pelanggaran HAM.
Dan yang tak kalah penting ialah informasi destinasi yang akan dikunjungi. Tempat wisata sejarah, budaya, kuliner, dan belanja. Hmmm seolah-olah kami hobi shoping... Sama sekali tidak. Tapi tempat shoping wajib dikunjungi supaya kami bisa bercerita hahahaha.
Googling apa saja mengenai Thailand, adat, bahasa, dan informasi kerawanan (ini penting untuk antisipasi).
Dan namanya Gank Hedon, meski semua anggotanya sudah biasa melanglang buana.... tapi tetap saja berbagai persiapan itu dipenuhi kehebohan. Asbabun nuzulnya... karena terlampau banyak imajinasi yang disusun, membentuk puzzle obsesi. Entah imajinasi itu akan terbukti atau akan menjadi mimpi. Tapi tak apa, Gank Hedon ini memang suka menertawakan diri sendiri.
Salah seorang anggota Gank Hedon, sudah lebih dahulu di Thailand. Dia menjadi dosen tamu untuk mahasiswa S2 Asean Studies. Dari dia kita mendapat update informasi tentang hotel, obyek wisata, juga tentang red light di Bangkok. Sedia payung sebelum hujan lah.... Tapi kalau payungnya belum mengembang tapi sudah hujan ya sudah dinikmati saja😀😀
So, saya akan berusaha mengupdate setiap perkembangan.
Pagi ini kita sedang siap-siap untuk ke airport. Kami berangkat dari Jogja jam 11 siang menuju Jakarta, dan disambung ke Bangkok jam 5 sore.

Sabtu, 13 Februari 2016

Ngerenehan Senja

Salah satu tempat buat bersantai, jauh dari kota, nyaman, bisa selfi, Pantai Ngerenehan, Gunung Kidul, Yogyakarta.
Di tempat ini kita bisa beli ikan langsung dari nelayan, kalau waktu kunjung kita bersamaan dengan kedatangan nelayan. Bisa makan menu ikan di warung yang ada di dekat pantai, harganya masih terjangkau, beda dengan warung di pantai-pantai lain yang sudah mahal.
Deretan perahu berjajar di pantai. Dengan bukit di kanan-kiri pantai sebagai pembatas. Pantai Ngerenehan memang tidak luas. Dan tidak terlalu ramai, jadi cocok buat kita kalau mau menikmati pemandangan alam dan berselfi.
Jangan lewatkan saat sunset, karena viewnya luar biasa.

Menikmati Merapi Dari Kopi Klothok-Pakem

Nongkrong berjam-jam
Alternatif buat yang jenuh dengan keseharian, atau jenuh dengan tongkrongan yang mainstream, di Jogja, tepatnya di daerah Pakem, kita bisa menikmati kopi dengan cita rasa khas, dengan tempat yang nyaman, tradisional, dan sejuk. Kopi Klothok, nama tempat nongkrong yang sekarang menjadi favorit saya.
Saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam di tempat ini, sekedar diskusi atau melarikan diri dari keriuhan kota.

Kopi khas Kopi Klothok
Soal menu, memang tak banyak yang ditawarkan. Memang tempat ini "tidak jual makanan" tetapi menjual suasana alam yang nyaman, menjual kenangan rumah orang tua di desa pada masa lampau. Kalau saya merasa kangen "Pulang" saya akan nongkrong di tempat ini. Menikmati segelas kopi khas Kopi Klothok, atau teh poci/teh tubruk dengan gula batu. Camilannya ada pisang goreng dan jadah goreng. Menu utamanya, sayur lodeh atau nasi megono dengan tambahan ikan goreng, ayam goreng, tempe goreng dsb.
Dan asyiknya lagi, konsep yang dijalankan Kopi Klothok menjadikan pelanggan sebagai tamu dan keluarga. Anda bisa memilih tempat sesukanya, bisa mengambil sendiri makanan di dapur, dan kalau ingin ngobrol sama pengelola atau pemiliknya juga bisa, dijamin anda akan merasa sebagai keluarga kalau sudah ngobrol sama pemilik/pengelolanya. 

Menu makan tradisional, Lodeh
Menu Megono
 Dan tentu saja suasana alam yg masih asri yang membuat betah. Kalau tidak mendung, kita bisa melihat Gunung Merapi, kalau lagi mendung.... ya berarti anda belum beruntung. tap masih bisa melihat hamparan tanaman padi di sawah,,,,, itupun kalau belum panen, kalau sudah dipanen ya tentu saja tak ada padi hehehe
Merapi sehabis hujan
sejuk
Interiornya klasik tradisional jawa. Pokoknya buat betah deh. Apalagi untuk makan di sini, tidak perlu mengeluarkan credit card, karena sangat murah.

Penilain : 0-10
Tempat : 9
Suasana : 9
Menu : 7
Harga : 8
Selfie : 9